Kamis, 13 Januari 2011

ALTERNATIF PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KAWASAN HUNIAN SUMMARECON

Kebutuhan hunian tentu membutuhkan biaya yang tidak kecil. Salah satu contohnya proyek Summarecon Bekasi. PT. Summarecon Agung Tbk. berencana membangun kawasan hunian di wilayah Bekasi Barat seluas 240 hektare. Sebelumnya, Summarecon Agung telah mengembangkan kawasan hunian di Kelapa Gading dengan seluas 500 hektare dan kawasan Serpong 1.500 hektare.

PT Bank Mandiri Tbk memberian fasilitas pembiayaan kepada PT Summarecon Agung Tbk senilai 250 miliar rupiah. Ini adalah salah satu bentuk dukungan Bank Mandiri dalam pengembangan kawasan hunian untuk memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat. Kredit senilai Rp200 miliar akan digunakan untuk pembangunan flyover dan infrastruktur di proyek Summarecon Bekasi. Sebesar Rp 50 miliar lainnya berbentuk kredit modal kerja untuk mendukung operasional perusahaan.

Dapat disimpulkan, PT Summarecon Agung Tbk menanggung beban yang cukup tinggi karena harus berhutang dalam penyediaan hunian yang nyaman bagi masyarakat. Padahal penyediaan hunian yang nyaman adalah tanggung jawab pemerintah. Peranan pemerintah untuk penyediaan hunian, terkadang terkendala di biaya. Hal ini bisa ditekan dengan sistem PPP (private public partnership). Dimana ada kerjasama antara pemerintah dan swasta. Dengan dilakukan sistem ini, pemerintah dapat mengawasi langsung atau bahkan mengintervensi tentang penyediaan hunian. Terutama kebutuhan hunian untuk masyarakat bawah.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pengembangan akan mengarahkan untuk pasar masyarakat ekonomi atas yang mewah. Sehingga kebutuhan hunian untuk masyarakat kecil akan kurang terakomodasi. Misalnya ada kerjasama yang mengikat (termasuk pembiayaan) dengan pemerintah, maka kebutuhan hunian untuk masyarakat ekonomi bawah juga dapat dipenuhi.

Pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat. Untuk kendala biaya, dapat di atasi dengan PPP (private public partnership). Pemerintah akan memberikan insentif khusus kepada swasta. Sebagai timbal baliknya, pemerintahan dalam langsung mengawasi pembangunan yang dilakukan pihak swasta.

Sistem PPP (private public partnership) masih tergolong baru di indonesia. Sistem ini legal diterapkan di indonesia sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan disempurnakan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010. Harapannya, sistem PPP ini akan meringankan beban pemerintah dalam pembiayaan pembangunan dan penyediaan infrastruktur bagi rakyat akan meningkat secara kuantitas dan kualitas.


Sabtu, 05 Juni 2010

Evaluasi RTRW lamongan 2006-2016 Terhadap Eksisting 2008

Evaluasi Rencana Tata Ruang

Kegiatan evaluasi merupakan peninjauan kembali penataan ruang yang secara keseluruhan merupakan bagian dari proses perencanaan tata ruang. Peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dapat menghasilkan rekomendasi berupa:

  1. Rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; atau
  2. Rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.

Secara garis besar penentuan peninjauan kembali berdasarkan atas 3 (tiga) komponen, yaitu:

  • Rencana Tata Ruang : sah/tidak sah
  • Simpangan : kecil/besar
  • Faktor eksternal : tetap/berubah

Adapun untuk tipologi dari peninjauan terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah terbagi atas 8 (delapan) tipologi, meliputi :

  • Tipologi A, RTRWK sah, simpangan kecil, faktor eksternal tetap
  • Tipologi B, RTRWK sah, simpangan kecil. faktor eksternal berubah
  • Tipologi C, RTRWK sah, simpangan besar, faktor eksternal berubah.
  • Tipologi D, RTRWK sah, simpangan besar, faktor eksternal tetap.
  • Tipologi E, RTRWK tidak sah, simpangan kecil, faktor eksternal berubah.
  • Tipologi F, RTRWK tidak sah, simpangan kecil, faktor eksternal tetap.
  • Tipologi G, RTRWK tidak sah, simpangan besar, faktor eksternal berubah.
  • Tipologi H, RTRWK tidak sah, simpangan besar, faktor eksternal tetap.

Proses peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan telah diatur dalam Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 Lampiran IV tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

Evaluasi RTRW Lamongan 2006-2016

Ada beberapa hal yang menjadikan produk Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan 2006 - 2016 menjadi mutlak tidak sah. Rencana tersebut masih berjalan dengan periode rencana 10 tahun. Jangka waktu 3 tahun terlalu cepat untuk mengevaluasi hasil perencanaan. Tetapi dengan demikian, revisi RTRW ini perlu dilakukan karena terdapat penyimpangan dari RTRW Kabupaten Lamongan 2006 – 2016 dengan kondisi eksisting pada saat tahun 2008. Metode dan analisa yang dilakukan saat penyusunan rencana tersebut menjadi tidak sah karena tidak menyikapi perubahan kondisi eksisting Kabupaten Lamongan. Kesimpulan untuk keabsahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan adalah tidak sah secara internal.

Simpangan yang terjadi pada struktur ruang wilayah Kabupaten Lamongan ini adalah pembagian wilayah pengembangan dengan istilah Sub Satuan Wilayah Pengembangan. Struktur perwilayahan yang ada pada Kabupaten Lamongan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan 2006 – 2016 dibagi menjadi 6 SSWP. Dari SSWP yang direncanakan, hanya SSWP 1,3, dan 6 yang sesuai dengan rencana. Pusat SSWP II ini berada pada perkotaan Sukodadi, SSWP II ini belum menunjukkan adanya wilayah pengembangan yang mandiri sehingga sebagaian besar masih bergantung pada Kota Lamongan. Sedangkan SSWP IV ini berada pada perkotaan Paciran-Brondong. Berdasarkan pengamatan, perkembangan lebih pesat berada di Perkotaan Blimbing. Hal ini didukung oleh keberadaan pasar blimbing, sehingga orientasi lebih besar ke pasar blimbing. Serta Pusat SSWP V di perkotaan Kedungpring, berdasarkan pengamatan perkotaan Kedungpring belum menunjukkan perwilayaan yang mandiri, kecenderungan pergerakan masih ke Perkotaan Babat.

Dengan demikian kesimpulan dari evaluasi Struktur Ruang Wilayah mengalami penyimpangan sebesar 50 %, karena dari total 6 SSWP yang ada di Kabupaten Lamongan, terdapat 3 SSWP yang mengalami penyimpangan.

Selain dari aspek struktur ruang, evaluasi RTRW ditemukan pula penyimpangan pada rencana transportasi, kependudukan dan juga penggunaan lahan. Berikut ini adalah data penyimpangan RTRW Lamongan 2006-2011 terhadap eksisting 2008

Evaluasi struktur ruang wilayah 50 %, Evaluasi sistem transportasi 40 %, Evaluasi kependudukan 99,94 % dan, Evaluasi penggunaan tanah sebesar 85 %.

Sehingga total rata-rata nilai besaran simpangan adalah penyimpangan pada evaluasi jumlah penduduk, evaluasi penggunaan lahan dan struktur tata ruang wilayah Kabupaten Lamongan adalah 68,74 %. Dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa penyimpangan di Kabupaten Lamongan merupakan simpangan cukup besar.

Secara eksternal telah terjadi perubahan kebijakan-kebijakan yang ada terutama adanya pembaharuan undang-undang tentang penataan ruang dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang menjadi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Dengan diterbitkannya UU nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, maka UU nomor 24 tahun 1992 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang.

Berdasarkan keseluruhan dari evaluasi tata ruang wilayah di Kabupaten Lamongan, maka disimpulkan bahwa tipologi peninjauan kembali pada Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan adalah Tipologi G dimana proses peninjauan kembali RTRW Kabupaten memerlukan perubahan dan penyempurnaan rencana, baik tujuan, sasaran, strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah. Secara mendasar, RTRW Kabupaten Lamongan memerlukan perubahan dalam tujuan, sasaran, strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang.

Sabtu, 24 April 2010

Identitas Kembang Jepun


Dalam mengidentifikasi identitas place yang terdapat pada koridor Jl. Kembang Jepun digunakan pendekatan teori citra place yang diformulasikan oleh Kevin Lynch. Menurut Kevin Lynch, elemen-elemen citra atau identitas kota dapat dibagi dalam 5 elemen yang bisa dibaca dan dikenali oleh masyarakat, antara lain: path, edge, district, node, dan landmark.

Path (Jalur)

Path merupakan rute atau jalur sirkulasi yang biasa digunakan untuk melakukan pergerakan secara umum baik menuju atau meninggalkan lingkungannya. Path dapat berupa jalur jalan, pedestrian ways, jalur kereta api, jalur sungai.

Ciri khas pada koridor J
alan Kembang Jepun ialah pedestrian yang masuk pada bagian lantai satu bangunan sehingga mirip seperti lorong. Pedestrian jenis ini disebut arcade, para pejalan kaki melewati jalur pedestrian yang merupakan bagian teras ruko.

Edge (Tepian)

Edge ialah batas wilayah yang berperan sebagai pemutus suatu kontinuitas. Selain itu, edge merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya, seperti: pantai, tebing curam, sungai; atau batas buatan seperti tembok tinggi, saluran atau lalu-lintas padat.

Bentuk edge yang terdapat pada koridor ini ialah Sungai Pegirian danSungai Kali Mas. Sungai Kali Mas terletak dekat dengan gerbang/gapura masuk, sedangkan Sungai Pegirian berdekatan dengan gapura keluar. Kedua sungai ini merupakan pembatas fisik koridor dari arah . barat sehingga untuk menuju dan meninggalkan Jalan Kembang Jepun harus melewati jembatan sebagai penghubung sirkulasi.











District (Kawasan)

District merupakan kawasan-kawasan kota yang memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya. District dapat timbul dalam imajinasi masyarakat setempat yang ditentukan oleh kesamaan karakteristikwilayah bersangkutan.

Kembang Jepun terkenal sebagai kawasan perdagangan grosir yang berskala regional. Hal tersebut terlihat dari banyaknya ruko ataupun fasilitas perdagangan dan jasa pada sepanjang jalan.














Node (Simpul)

Node merupakan titik-titik kegiatan kota yang mempunyai peranan sebagai titik orientasi yang lebih ditekankan pada bentuk kegiatan atau aktivitas rutin yang sudah dikenal masyarakat. Node dapat berbentuk persimpangan lalu lintas, pasar, jembatan, taman, dan lain-lain.


Akitivitas utama yang dapat dikategorikan sebagai node pada koridor Jl. Kembang Jepun kegiatan bisnis atau jual beli di seluruh fasilitas perdagangan dan jasa. Aktivitas tersebut terjadi dan ramai pada hari-hari kerja sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada jam-jam tertentu.







Landmark (Tengeran)

Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota. Pada umumnya berupa struktur fisik yang mendominasi lingkungan sekitarnya, misal: menara, gedung tinggi, tempat ibadah, dan lain-lain.

Landmark yang khas pada koridor ini ialah gapura pada pintu masuk dan pintu keluar lengkap dengan ornament-ornamen yang bergaya cina. Hal tersebut menyebabkan daerah Kembang Jepun disebut sebagai daerah pecinan atau pun kya-kya.